sumber foto: detik.com
Tiap kali mendengar kata emak, kita selalu membayangkan sosok keibuan yang penuh kasih sayang. Namun bayangan itu sekejap sirna ketika kita dihadapkan pada istilah the power of emak-emak yang begitu populer belakangan.
Namun, bila disebutkan kata “the power of emak-emak”, mungkin yang akan segera terbayang di benak kita adalah aksi mereka yang kerap melanggar aturan lalu lintas, seperti berkendara dengan melawan arus jalan; menyalakan lampu sen kiri tapi malah berbelok ke kanan, dll.
Sebenarnya istilah “the power of emak-emak” lahir dari fenomena perempuan urban yang berani mengekspresikan perlawanannya di ruang publik. Meski kadang kala keberanian ini terkesan nekat, emosional, dan kadang ekstrem.
Sebagai anak, saya merasa risih dengan istilah “the power of emak-emak”. Alih-alih memperlihatkan kemampuan ibu untuk melawan, bagi sebagian kalangan ungkapan tersebut justru menjadi lelucon peyoratif terhadap perempuan. Secara eksplisit, istilah itu seperti berusaha mengakui kemampuan perempuan yang selama ini dipandang lemah dan tidak berdaya.
Namun secara implisit, the power of emak-emak memuat cap dan stereotip. Maksud cap di sini ditujukan kepada para perempuan yang dianggap galak, tidak peduli apakah mereka masih melajang atau sudah menikah. Sedangkan stereotip muncul dari anggapan bahwa emak-emak sudah sewajarnya galak.
Ketika Emak-emak Semakin Galak tentang Politik
Fenomena kaum emak-emak terjun politik memang unik. Mereka kuat dan militan. Jangan ragukan soal loyalitasnya. Karena sebagai wanita sudah teruji melewati banyak cobaan. Hamil, melahirkan, membesarkan anak sampai mengurus rumah dan seabrek kerjaan lainnya. Sehingga tak heran bila sampai ada sebutan 'The Power of Emak-Emak'.
Kini bukan di kelas menengah saja. Seiring berjalannya waktu, pendidikan politik di masyarakat mulai terasa dampaknya. Tak heran, bila di era digital saat ini, banyak emak-emak juga mulai melek politik. Terpaan informasi menyerang semua lini. Sosial media menjadi salah satu media berpengaruh dalam membangun opini publik kaum emak-emak.
Masih soal fenomena politik kaum emak-emak.....
Semuanya berawal ketika Sandiaga Uno mendaftarkan diri bersama Prabowo di gedung KPU sebagai bakal Capres dan Cawapres. Kepada awak media, Sandi mengungkapkan bahwa akan berjuang untuk kebahagiaan emak-emak di seluruh Indonesia.
“Saya berjuang bersama Pak Prabowo untuk kebahagiaan emak-emak di seluruh Indonesia,” ungkapnya kepada wartawan.
Pernyataan ini cukup menggelitik dan menarik, karena jarang ada politisi dan penguasa kita yang memperhatikan kepentingan emak-emak. Kepentingan emak-emak juga kepentingan kita semua. Karena kepentingan emak-emak adalah kepentingannya akan kebutuhan-kebutuhan pokok dan keseharian kita.
Bukti Nyata Kaum Perempuan
Tiap tahunnya kesadaran kaum perempuan terhadap politik terus meningkat. Misalnya saat pelaksanaan pemilu. Jumlah partisipasi perempuan terus bertambah. Padahal di era orde baru perempuan bisa menjadi kepala desa adalah sebuah prestasi.
Keterlibatan perempuan dalam birokrasi pun semakin meningkat. Kursi 30 persen wanita di legislatif makin diminati perempuan. Partai politik juga berlomba membuka ruang bagi perempuan untuk bergabung dan menjadi wakilnya di pemerintahan.
Satu yang pasti, ada potensi besar di pileg dan pilpres 2019 mendatang yaitu potensi politik kaum emak-emak. Tinggal menunggu bagaimana elite politik meracik dan memoles ini dengan seciamik mungkin agar merebut suara hati kaum emak-emak.
Apakah Sandiaga Uno dengan politik emak-emaknya akan mampu mengeliminasi image Jokowi dengan sosok yang sederhana dan merakyat, sehingga dapat mengudetanya dari kursi lembaga eksekutif? Kita tunggu saja episode-episodenya!