Selasa, 15 Januari 2019

KEMEROSOTAN INTELEKTUAL UMAT ISLAM DI TENGAH PESATNYA PEMBANGUNAN




Tulisan Oleh : 1. Dedeh Zakiyatun Nisa
2. Mayang Sari Ritonga

Apa kabar dunia islam ?

Di zaman modern saat ini perkembangan sains sudah semakin pesat dikarenakan kebutuhan manusia sebagai penghuni zaman yang semakin kompleks serta perubahan gaya hidup mereka yang menginginkan kepraktisan. Hal itulah yang mendorong manusia terus menciptakan perkembangan yang lebih mutakhir terhadap teknologi. Setiap negara  berlomba-lomba meningkatkan mutunya di bidang sains, beberapa di antaranya sangat mendominasi semua bidang pada kehidupan global seperti yang kita tahu ialah Amerika, China, dan Eropa. Bahkan secara politik, Amerika serikat merupakan satu-satunya negara superpower sekarang ini. Hampir tidak ada peristiwa politik dunia hari ini yang tidak melibatkan Amerika Serikat baik itu secara langsung atau tidak. Diantara hal yang membuat Amerika Serikat dapat mendominasi dunia adalah karena Amerika Serikat menguasai sains dan teknologi. Hampir semua bidang sain dan teknologi dikuasai oleh mereka. Maka tidak mengherankan jika kita melihat hampir semua negara- negara berkembang lebih milih Amerika Serikat sebagai tempat untuk belajar ilmu teknologi. Namun bukan Amerika saja yang dituju sebagai tempat belajar teknologi tapi Eropa dan Jepang sudah mulai diminati. Sebenarnya amerika tidak hanya pesat dalam bidang ilmu teknologi akan tetapi juga dalam ilmu sosial seperti ilmu ekonomi dan politik. Bahkan pada kenyataannya bidang ilmu agama pun mereka menguasainya, hal ini dapat kita lihat pada lembaga-lembaga pendidikan, universitas-universitas, bahkan mereka mendirikan pusat-pusat kajian sebagai riset berbagai ilmu yang kemudian dilakukan oleh berbagai bangsa dan selanjutnya menerbitkan buku-buku dan jurnal mengenai agama termasuk Islam. Melihat kemajuan dunia barat yang sudah terlampau jauh sekali melewati Negara-negara muslim,

lantas apa yang sedang terjadi pada dunia islam hari ini ?

Ketimpangan antara Pesatnya Pembangunan dan  Kualitas Intelektual
Untuk menapik rasa sakit akibat ketertinggalan dunia islam, Sebut saja kita bangga dengan Dubai, salah satu kota di Negara muslim Uni Emirat Arab saat ini kota tersebut telah memesona pandangan dunia, sebab perkembangannya yang cepat. Dubai saat ini jauh berbeda dengan Dubai di masa lalu yang hanya sebuah kawasan kecil nan kumuh yang mata pencaharian para penduduknya pun hanya memancing, menyelam dan berjualan mutiara laut. Sekarang kota  kecil ini begitu terkenalnya sebagai salah satu surga dunia untuk berwisata, siapa pun pasti bermimpi bisa plesir ke kota yang terletak di negeri gurun pasir ini dan merasakan pesonanya. Dubai bak magnet yang mampu menarik berjuta - juta wisatawan setiap tahunnya untuk menikmati berbagai fasilitas yang tersedia seperti mal-mal besar dengan pusat hiburan mewah (termasuk sebuah resor ski indoor), sistem jalan tol dengan jalan layang, terowongan, dan kawasan bawah bawah, melihat cahaya lampu kerlap-kerlip dengan berbagai warna ketika malam hari dan menyaksikan keindahan bangunan-bangunan kaca dan gedung-gedung pencakar langit yang bertaburan, salah satunya yang tersohor yaitu menara tertinggi di dunia (Burj Dubai) dan hotel berbintang tujuh pertama di dunia (Burj Al-Arab) yang mempunyai restoran bawah laut dengan fasilitas yang menakjubkan. Seandainya Negara UEA ini tidak pernah dihantam krisis ekonomi yang begitu kuat, nampaknya akan muncul enam menara serupa Burj Dubai yang bertengger di  tanah Negeri gurun pasir ini. (Jayantika Soviyani, 2017)

Perubahan mengejutkan yang terjadi pada Dubai bukan hanya terletak pada segi fasilitas layanan umum dan system tata kota seperti yang telah disebutkan di atas. Justru Yang paling dramatis adalah perubahan gaya hidup masyarakatnya yang dahulu hanya sekelompok badui dengan profesi khas orang-orang desa , tetapi kini telah menjelma menjadi masyarakat modern yang kehidupannya terhubung oleh telepon seluler dan satelit, sistemnya di dukung oleh internet broadband, juga sekarang kota ini dipenuhi berbagai media, dan internet. (Jayantika Soviyani, 2017)
Sebagai kota ‘pengetahuan’ (sebagaimana yang mereka sebutkan) dubai menjadi tuan rumah besar untuk berbagai penyelenggaraan event-event internasional dalam bidang IT karena terdapat berbagai perusahaan dan institusi besar di sana. Salah satunya event Gulf Information Technology Exhibition (GITEx), satu dari tiga pameran IT terbaik di dunia yang diselenggarakan selama beberapa hari di Dubai International Convetion dan Exhibition Centre yang luasnya melebihi 30.000 m2 (setara 6 lapangan sepakbola GBK), terdapat 2.700 perusahaan yang menyajikan produk inovatif. (Jayantika Soviyani, 2017)

Melihat pesatnya pembangunan di UEA, rasanya terbesit harapan bahwa melalui Negara ini kelak umat islam akan memiliki “Amerika Serikat-nya” sendiri yang mungkin bisa menyaingi Amerika Serikat yang asli.  dengan kemiripan keduanya yang sama-sama Negara federal, yang disatukan oleh beberapa pendiri visioner. Juga keduanya sebagian besar terdiri dari tanah-tanah imigran serta Negara-negara bagiannya bercorak konservatif dan liberal. Meskipun demikian tetap terdapat perbedaan yang mendasar yaitu Negara UEA tidak memiliki ‘budaya perang’. Namun, Beberapa kemiripan tersebut belumlah cukup untuk menandingi AS mengingat Negara UEA ini masih tergolong sangat muda karena ia baru merdeka dan bersatu sekitar 40th silam, dan masih dalam tahap awal membangun lembaga-lembaganya termasuk pendidikan mulai dari awal. Sehingga kita tidak dapat memaksakan kemajuan yang dihasilkan UEA dalam segi sosial, kultural, dan intelektualnya bisa sebanding dengan kemajuan yang telah dicapai Negara-negara barat. Memang diakui, pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh UEA merupakan salah satu yang tercepat dalam sejarah. Namun, ini sangat berbanding terbalik dengan tingkat perkembangan manusia dan sainsnya yang tak jauh berbeda dengan Negara-negara arab lain, yaitu masih tergolong lamban. Tetapi ini semua bisa dimaklumi, karena untuk mencapai kemajuan material memang lebih mudah dan cepat dibanding mencapai kemajuan intelektual. (Jayantika Soviyani, 2017)

Pendekatan ‘Gado-Gado’ Ramuan Agama dan Sains

Sebagai contoh, dikutip dari sebuah artikel yang ditulis oleh Jayantika Soviani tahun 2017, Islam dan Sains Masa Kini “ketika menghadiri  “Konferensi Kedelapan I’jaz Ilmiah (Aspek-aspek Mukjizat) dalam Alquran dan Sunnah” diselenggarakan di Kuwait (di Hotel Sheraton) oleh Otoritas Dunia I’jaz Ilmiah dalam Alquran dan Sunnah, pada Desember 2006. Dan Pada April 2007, konferensi yang sama diselenggarakan di Abu Dhabi mengenai “Penyembuhan Qurani” di hotel bintang tujuh Emirates Palace. Berdasarkan laporan dari media, sebanyak 1.300 orang, termasuk beberapa pejabat, hadir di konferensi tersebut pada hari pertama.

Keynote speech pembukaan diberikan kepada Profesor Zagloul Al-Najjar, mantan profesor geologi universitas yang selama bertahun-tahun sampai sekarang adalah orang yang ahli dalam wacana i’jaz. Dalam tinjauannya, ia mencela ‘dualitas’ sistem pendidikan tinggi di Dunia Muslim kontemporer, yang hasilnya - dalam pandangannya - telah dipengaruhi dan didominasi secara kultural oleh peradaban materialistik Barat. Apa yang dimaksud dengan dualitas itu adalah fakta bahwa, di satu sisi, pelatihan medis tidak menciptakan ruang bagi upaya penyembuhan Qurani, dan, di sisi lain, kurikulum teologi dan hukum Islam tidak memiliki mata kuliah medis. Hal ini kemudian, menurutnya, membuat para dokter sangat sulit menghargai peran dan nilai penyembuhan Qurani, sementara para penyembuh Qurani tidak cukup memiliki pengetahuan tentang metode dan fakta ilmiah. la meminta kerja sama yang lebih erat antara dua bidang ini dan mengharapkan bantuan teknologi modern yang lebih memadai dalam praktik penyembuhan Qurani.
  Beberapa hal yang penting di antaranya satu tema utama dalam konferensi tersebut adalah efek pembacaan ayat Alquran terhadap air, yang konon menyembuhkan banyak penyakit pada pasien yang meminumnya. Beberapa pembicara, yang kebanyakan dari mereka adalah profesor universitas, menjelaskan penyembuhan ini berdasarkan ‘efek memori air’ (tentu saja, gagasan ini sudah lama diabaikan). Sebagian yang lain menjelaskan beberapa gelombang elektromagnetik yang berasal dari ‘getaran-getaran’ Alquran yang sedang dibaca, sehingga ia mampu ‘mengatur ulang’ struktur molekul air dan memberikan ‘energi’ khusus (suatu kata yang sering disalahgunakan dalam konferensi tersebut seperti pada kebanyakan forum sejenis). Sebagian lagi menyebut konsep ‘konten informasi’, yang entah bagaimana, akan diteruskan dari Alquran menuju air dan kemudian kepada pasien, terutama jika Alquran dibaca oleh orang yang saleh. Yang lain menyebut telepati, bahkan ada beberapa dari mereka yang mendasarkan klaimnya pada ‘teori’ homeopati mereka (konsentrasi obat sangat kecil dalam air yang diklaim dapat memberikan kekuatan khusus). Salah satu pembicara, seorang teknisi peralatan medis, bahkan membawa sebuah alat yang konon dapat digunakan untuk mengekstrak ‘energi penyembuhan Qurani’ yang tersimpan di dalam air untuk kemudian ditransfer ke air dengan hanya menempatkan satu jari di dalamnya dan membaca ayat-ayat dengan suara keras atau di dalam pikiran seseorang. Bahkan, perangkat tersebut, menurutnya, bisa mengubah energi menjadi informasi digital, merekamnya dan mampu mengirimkannya melalui Internet kepada siapa pun yang membutuhkannya di seantero dunia. beliau juga menambahkan bahwa perangkat itu akhirnya dipuji sebagai “lompatan kualitatif dalam perkembangan imunitas psikologis, dan lompatan kuantum dalam konsep ‘I’jaz teknologi’ penyembuhan ajaib Qurani, penemuan pertama yang menggabungkan Alquran dengan teknologi modern”.

 Membaca laporan tersebut, sangat mengejutkan bahwa semua ini adalah informasi yang disajikan di sebuah konferensi internasional abad ke-20 dan bukan dalam pertemuan zaman gelap Abad Pertengahan. Para ulama Islam arus utama yang lain mengutuk pendekatan ‘gado-gado’ semacam ini untuk topik-topik ilmiah, khususnya dalam bidang kesehatan. Namun, kenyataannya, ramuan agama-sains seperti di atas sudah tersebar luas bahkan merata di kalangan masyarakat dan sebagian besar kalangan elite terdidik. ‘Persoalan kuantum’ di sini kemudian telah masuk ke dalam kondisi yang kacau”.

Contoh diatas dengan jelas memperlihatkan masalah sains dan pendidikan di masyarakat Arab atau Islam saat ini. Bukan hanya tentang diabaikannya fakta-fakta dasar ilmiah yang sangat luas, melainkan juga diremehkannya hakikat sains, metodologi, lingkup validitas, dan keterbatasan-keterbatasan di dalamnya. Sebagai muslim rasanya kita mudah saja percaya terhadap hal-hal yang mencampur agama dan sains seperti itu, terlebih lagi jika golongan awam yang membacanya. mereka akan menganggap itu pasti  sesuatu yang benar tanpa berusaha mencari tahu lebih mendalam terhadap validitas sebuah penelitian dan metodologi apa yang digunakan, ini akan membuat mereka merasa penemuan ini adalah suatu lompatan yang sangat besar untuk menandingi barat sehingga tak perlu lagi umat islam belajar dari mereka tentang medis dan obat-obatan, juga tak perlu lagi rasanya mendatangi dokter ketika sakit. Cukup hanya mengandalkan apa yang terkandung di dalam Al-qur’an. Jika sudah terjadi seperti ini, sains di dunia islam akan mengalami kejumudan, statis dan tidak ada peningkatan, al-qur’an adalah pedoman dan tolak ukur kebenaran, bukan sebagai sumber sains, artinya ikhtiar harus tetap dilakukan.

Keterbelakangan Pendidikan di Dunia Islam

Terkait hal ini, banyak suara-suara yang amat tajam untuk kita ketahui bahwa selama bertahun-tahun ini ditujukan untuk merekonstruksi pemahaman Muslim dan interaksinya dengan sains. Namun, suara-suara tersebut terlalu sedikit, serta terdengar hanya sekilas bagaikan kilat,
dan seringkali sumbang  bahkan untuk membuat mereka didengar, apalagi mampu memengaruhi sikap publik Muslim terhadap sains kontemporer ini. Apalagi, sudah berapa banyak orang yang saat ini mendengar nama-nama yang tidak asing di telinga kita seperti Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, atau Mehdi Golshani? Memang benar bahwa pemenang Hadiah Nobel Abdus Salam dan Ahmed Zewail telah membuat diri mereka terkenal, tetapi hanya sedikit sekali orang yang tahu mengapa mereka mendapat penghargaan itu. Bahkan tidak ada orang yang ingin menegaskan bahwa keduanya telah melakukan semua upaya penelitiannya di Barat. Ini membuktikan bahwa untuk memperbaiki kekurangan umat islam di bidang ilmu penegetahuan dan sains kita perlu sikap terbuka terhadap barat, dalam arti “terbuka untuk belajar” sebab mereka jauh lebih mapan dari segi fasilitas, kualitas pendidikan, banyaknya sumber-sumber literatur, dan publikasi riset ilmiah.
Perbandingan kualitas pendidikan Negara islam dan barat dapat diamati dari rating universitas. Dirangkum  HYPERLINK "https://cwur.org/2018-19.php" https://cwur.org/2018-19.php , dari 1000 lebih urutan universitas-universitas terbaik di dunia posisi pertama ditempati oleh Hardvard University, posisi kedua Stanford University, kemudian Massachusetts-Institute-of-Technology dan selanjutnya didominasi oleh universitas dari Negara non-muslim. Sementara itu saya baru menemukan universitas dari Negara muslim yaitu King Abdul Aziz University di Saudi Arabia pada urutan 323, ini merupakan salah satu gejala keterbelakangan umat islam saat ini.
Kondisi Pendidikan di Indonesia
Di Indonesia sendiri sebagai salah satu Negara dengan penduduk muslim terbesar yakni 76% dari keseluruhan. Tetapi, boleh dibilang kualitas intelektual manusianya tidak semenggembirakan jumlah pupolasinya. Ibarat buih di lautan, banyak tapi tidak punya kekuatan. Padahal Jika melihat jumlah ini, Indonesia punya potensi besar untuk melahirkan generasi-generasi intelektual islami yang kelak akan turut serta memimpin perubahan pada negara serta dunia islam kearah lebih baik. Dan untuk mewujudkan misi tersebut tentunya harus melalui jalur pendidikan, karena Pendidikan merupakan salah satu faktor penting kewibawaan sebuah negara didapatkan. Dengan pendidikan yang baik pastinya akan melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas dan kompeten dalam bidangnya. Sehingga kondisi bangsa akan terus mengalami perbaikan dengan adanya para penerus generasi bangsa yang mumpuni dalam berbagai ilmu.
Sayangnya Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala. Faktanya, indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Hal menarik lainnya yang perlu diketahui tentang kemerosotan di Indonesia adalah dalam bidang literasi. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia sendiri ternyata masih berada di bawah negara tetangga Malaysia dalam dunia pendidikan. seperti dilansir Deutsche Welle. Malaysia menempati posisi ketiga pada peringkat pendidikan ASEAN,  dengan tingkat literasi penduduk dewasa yang mencapai 94%, tidak heran jika Malaysia mampu membukukan skor 0,671 di Indeks Pendidikan UNDP. Negeri jiran itu menempati posisi 62 dalam daftar pendidikan terbaik di dunia dan ketiga di ASEAN. Indonesia sendiri menempati posisi kelima di ASEAN dan berada di posisi 108 di dunia dengan skor 0,603. Secara umum kualitas pendidikan di tanah air berada di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya sebanyak 44% penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11% murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.
Tidak asing lagi bagi kita bahwa Jurnal ilmiah di Indonesia pun sangat menurun dan terlihat tidak terurus. Tidak banyak kegiatan ilmiah yang benar-benar mendukung “kegiatan ilmiah” dan menerbitkan jurnal yang besar dan mampu bersaing. Bahkan di Setiap universitas menerbitkan jurnal ilmiah sendiri, bukan hanya itu banyak juga  jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh jurusan atau fakultas. Oleh sebab itu jurnal ilmiah tumbuh seperti jamur, banyak bermunculan namun secara tiba-tiba menghilang bagaikan di telan bumi. Tanpa penyebab yang jelas, jurnal ilmiah seakan-akan hanya sebatas formalitas.  Namun disisi lain pasti memiliki alasan tersendiri yakni bisa saja karena tidak ada biaya untuk menerbitkannya,  atau kadang tidak pede terhadap karya sendiri bahkan tidak memiliki ide untuk penelitian yang mampu bersaing.
Terdapat beberapa fakta yang menarik terkait jurnal ilmiah salah satunya laporan dari Thomson Scientific (Amerika) mengatakan bahwa jumlah paper ilmiah yang di publikasikan selama tahun 2004 oleh peneliti di Indonesia (yang berafiliasi ke lembaga penelitian atau universitas di Indonesia) berjumlah 522 paper ilmiah. Jumlah ini hanya sepertiga dari paper ilmiah yang hasilkan oleh Malaysia (1438 paper). Di level ASEAN, Indonesia menduduki peringkat keempat setelah Singapore (5781 paper), Thailand (2397 paper) dan Malaysia. Yang dekat dengan Indonesia adalah Vietnam (453 paper).
Bukti-bukti di atas sungguh dapat menyadarkan kita apa yang sedang terjadi pada dunia islam saat ini, dan di mana posisi kita berada amat jauh dari negara-negara lainnya. Dalam  gambaran kecil, kegagalan umat islam dalam menghadapi tantangan perkembangan dunia kontemporer menyisahkan pekerjaan rumah yang tidak mudah.  Oleh sebab itu kita sebagai pemuda-pemuda generasi bangsa harus lebih giat dalam belajar dan dan menghasilkan riset ilmiah.  Agar kelak bangsa kita ini tidak berakhir dengan tragis.  Meskipun untuk mengambil alih kejayaan islam pada saat itu sudah tidak mungkin. Bahkan untuk sekedar mengejar ketertinggalan kita pun masih sangat lemah.