Rabu, 08 April 2015

Pahlawan Keluarga Yang Sesungguhnya





Dalam kalimat sehari-hari, tentunya kata “Pahlawan” dapat diartikan sebagai orang yang berjasa karena sikapnya untuk menolong orang lain. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan merupakan orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Ibuku adalah pahlawanku, beliau adalah satu-satunya orang yang berani berkorban apapun demiku. Ibuku adalah pahlawan terbaik yang pernah ada dibumi,
 ibuku tidak butuh penghargaan atas suksesnya membesarkanku.
Maka izinkan saya membuat cerita yang dapat menginspirasi kita semua, karna bagiku pahlawan saat ini adalah Orang tua ku, terutama Ibu ku.
 
Perjuangan seorang Ibu yang baik hati

Namanya Rodiyah, orang kurang mampu yang pekerjaannya adalah tukang penjual kue keliling. Seluruh hidupnya dihabiskan di jalanan ibu kota, berjalan dan berjalan untuk menawarkan dagangannya kepada orang yang kelaparan. Untung seribu dua ribu pun tetap ia lakoni.

Tubuhnya tidaklah gemuk. Perawakannya malah tergolong kecil tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya sebagai sebatang kara dan tanpa suami dan anak. .suaminya meninggal akibat kecelakaan, kemudian beberapa bulan kemudian, Rodiyah pun harus merasakan kehilangan kembali, anak perempuan semata wayangnya harus diambil oleh Yang Maha Kuasa karena penyakit demam berdarahnya, Bulan demi bulan Rodiyah harus menanggung kesendirian nya tersebut.

Alkisah perantauan nya ke Ibu Kota dengan maksud untuk memperbaiki kehidupannya, awalnya Rodiyah tinggal di kampung bersama dengan suami dan anaknya, namun semenjak suami dan anak nya yang telah diambil oleh Sang Maha Kuasa, Rodiyah pun tidak bisa mengandalkan jerih payahnya di kampung yang bekerja sebagai seorang petani, tanah pertanian pun bukanlah miliknya, ia hanya diberikan pekerjaan oleh pemilik lahan tersebut yang merasa iba kepadanya dan seperempat upah hasil panen akan diberikan untuknya.

Itulah yang membuat tekadnya menjadi bulat untuk merantau ke ibu kota, dengan sedikit tabungan yang ia punya digunakan untuk perjalanan dan biaya hidupnya yang sementara di Ibu kota.

Setibanya di Ibu kota, ia langsung mencari rumah kontrakan untuk berlindung dari panas dan dinginnya hujan, awalnya rodiyah kaget karena biaya sewa rumah tidak cukup dengan sisa tabungannya, hingga ia akhirnya menemukan sebuah kontrakan reot yang bersebelahan dengan tempat pembuangan sampah, ukurannya pun hanya sepetak dan tanpa listrik pula, hanya itulah yang ia mampu untuk menyewanya, namun ia tetap bersyukur karena telah dapat tempat persinggahan di Ibu kota.

Setelah ia mendapatkan  tempat untuk bersinggah, lalu ia pun bingung harus bekerja apa untuk kelangsungan hidupnya, awalnya rodiyah bekerja sebagai tukang cuci disebuah rumah komplek, namun rodiyah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan nya tersebut karena majikannya yang sangat galak kepadanya, kemudian rodiyah pun berpikir kembali, hingga saat berada diperjalanan pulang, ia melihat seorang pedagang kue keliling yang sedang menjajakan dagangannya, disapalah tukang kue tersebut olehnya.

“permisi bu, maaf sebelumnya, apakah kue yang ibu jual merupakan buatan ibu seluruhnya?” Tanya Rodiyah kepada tukang kue keliling tersebut.

“tentu bukan bu, ini kepunyaan orang lain, saya hanya membantu menjualnya, dengan keuntungan dibagi dua dari orang pembuat kue tersebut bu” ucap tukang kue tersebut.

“bisakah ibu menolong saya untuk mengantar kepada orang penjual kue tersebut bu? “Tanya Rodiyah kembali.

“tentu bisa bu, rumahnya tidak jauh dari sini, mari saya antar” ujar penjual kue tersebut.

Hingga akhirnya rodiyah pun bertemu dan meminta agar ia diterima untuk menjajalkan kue buatan  orang tersebut, akhirnya rodiyah pun diterima, dan akhirnya ia bekerja sebagai penjual kue keliling, pekerjaannya sangat ia nikmati, meskipun keuntungan yang tidak seberapa, namun cukup untuk makan,minum, dan biaya sewa rumahnya tersebut.

Dengan tekad yang kuat Rodiyah melalang buana di jalanan, di atas trotoar jalan untuk menawarkan kue kepada para pelanggannya.

 

Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam tiga sore atau setelah ia merasa tidak kuat lagi untuk berjalan.

 

Para pelanggannya sangat menyukai rodiyah, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang membayar kue nya dengan lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha berjalan menjajakan kuenya.

 

Rodiyah pun kembali kerumah dan beristirahat ditempat yang ia anggap istana baginya yaitu disebuah rumah reot dekat tempat pembuangan sampah, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan para penjual asongan dan pemulung lainnya. Perlengkapan di rumah nya sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari menjual kue.

 

Rumah kontrakan itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana Rodiyah biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, di ruang itu juga ia memasak untuk mengisi perutnya yang lapar, di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di rumah reot itu bila malam telah menjelang.

 

Rodiyah hanya tinggal sendiri Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sepi, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan suka cita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

 

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian menjajalkan dagangannya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya. Namun dia tidak melakukannya, karena sebagian uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 100 anak-anak yatim piatu miskin di pinggiran kali ciliwung. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang didirikan secara swadaya.

 

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah menjual kue-kue nya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat di pundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar di mukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

 

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

 

Hati Rodiyah tercekat dan teringat akan anaknya dahulu saat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi kue dagangannya tersebut dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana. Rodiyah pun langsung menghampiri anak tersebut, dan menanyakan untuk apa saja uang yang sudah ia kumpulkan.

 

“kenapa kamu masih mengais makanan dari sisa tempat sampah nak? Kan kamu sudah punya uang yang cukup untuk membeli makanan dan minuman yang layak?” Tanya Rodiyah.

 

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….,” jawab anak itu.

 

“Orang tuamu dimana…?” tanya Rodiyah kembali.

 

“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi.  Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…,” sahut anak itu.

 

Rodiyah minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki tersebut. Hati Rodiyah semakin merintih melihat kedua adik anak itu, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

 

Rodiyah tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

 

Rodiyah kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu kurang mampu di pinggiran kali ciliwung. Pada pengurus yayasan itu Rodiyah mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak yatim-piatu itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang lebih baik.

 

Sejak saat itulah Rodiyah menghabiskan waktunya dengan berjualan kue mulai jam 6 pagi sampai jam 3 sore dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa rumah dan membeli sebungkus nasi untuk makan siangnya dan sebagian lagi untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

 

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmm… tapi masih cukup bagus… gumam rodiyah dengan senang.

 

Rodiyah menjajalkan dagangan kuenya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, di hujan turun yang mendinginkan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

 

“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 15 tahun Rodiyah menjajalkan dagangan kue miliknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di pinggiran kali ciliwung itu. Saat berusia 60 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar sekitar 450 ribu rupiah yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah rakyat yang ada di pinggiran kali ciliwung.


Rodiyah berkata “Saya sudah tidak dapat berjalan jauh lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan….,” katanya dengan sendu.
 
Rodiyah wafat pada usia 60 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar 9 juta yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di pinggiran ciliwung untuk menolong kurang lebih 100 anak-anak miskin dan yatim-piatu.
--Selesai--

Itulah Sedikit Cerita Pahlawan Keluarga masa kini.
ibu rodiyah boleh saja miskin harta, tapi tidak untuk miskin Rasa.
ya.. rasa peduli yang kaya, rasa prihatin yang besar, dan rasa tolong menolong yang dalam meskipun dirinya butuh untuk ditolong.

Semoga dengan adanya Kudo ( Kios Untuk Dagang Online ). melalui website www.kudo.co.id dapat memudahkan orang-orang seperti ibu Rodiyah dalam menjajakan dagangannya kepada  khalayak umum.