Dalam kalimat
sehari-hari, tentunya kata “Pahlawan” dapat diartikan sebagai orang yang
berjasa karena sikapnya untuk menolong orang lain. Sedangkan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pahlawan merupakan orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.
Ibuku adalah pahlawanku, beliau
adalah satu-satunya orang yang berani berkorban apapun demiku. Ibuku adalah
pahlawan terbaik yang pernah ada dibumi,
ibuku tidak butuh penghargaan atas suksesnya
membesarkanku.
Maka izinkan saya membuat cerita
yang dapat menginspirasi kita semua, karna bagiku pahlawan saat ini adalah
Orang tua ku, terutama Ibu ku.
Perjuangan seorang Ibu yang baik
hati
Namanya Rodiyah, orang kurang mampu yang pekerjaannya
adalah tukang penjual kue keliling. Seluruh hidupnya dihabiskan di jalanan ibu
kota, berjalan dan berjalan untuk menawarkan dagangannya kepada orang yang
kelaparan. Untung seribu dua ribu pun tetap ia lakoni.
Tubuhnya tidaklah gemuk.
Perawakannya malah tergolong kecil tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja.
Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya sebagai sebatang kara dan
tanpa suami dan anak. .suaminya meninggal akibat kecelakaan, kemudian beberapa
bulan kemudian, Rodiyah pun harus merasakan kehilangan kembali, anak perempuan
semata wayangnya harus diambil oleh Yang Maha Kuasa karena penyakit demam berdarahnya,
Bulan demi bulan Rodiyah harus menanggung kesendirian nya tersebut.
Alkisah perantauan nya ke Ibu Kota
dengan maksud untuk memperbaiki kehidupannya, awalnya Rodiyah tinggal di
kampung bersama dengan suami dan anaknya, namun semenjak suami dan anak nya
yang telah diambil oleh Sang Maha Kuasa, Rodiyah pun tidak bisa mengandalkan
jerih payahnya di kampung yang bekerja sebagai seorang petani, tanah pertanian
pun bukanlah miliknya, ia hanya diberikan pekerjaan oleh pemilik lahan tersebut
yang merasa iba kepadanya dan seperempat upah hasil panen akan diberikan
untuknya.
Itulah yang membuat tekadnya menjadi
bulat untuk merantau ke ibu kota, dengan sedikit tabungan yang ia punya
digunakan untuk perjalanan dan biaya hidupnya yang sementara di Ibu kota.
Setibanya di Ibu kota, ia langsung
mencari rumah kontrakan untuk berlindung dari panas dan dinginnya hujan,
awalnya rodiyah kaget karena biaya sewa rumah tidak cukup dengan sisa
tabungannya, hingga ia akhirnya menemukan sebuah kontrakan reot yang bersebelahan
dengan tempat pembuangan sampah, ukurannya pun hanya sepetak dan tanpa listrik
pula, hanya itulah yang ia mampu untuk menyewanya, namun ia tetap bersyukur
karena telah dapat tempat persinggahan di Ibu kota.
Setelah ia mendapatkan tempat untuk bersinggah, lalu ia pun bingung
harus bekerja apa untuk kelangsungan hidupnya, awalnya rodiyah bekerja sebagai
tukang cuci disebuah rumah komplek, namun rodiyah memutuskan untuk berhenti
dari pekerjaan nya tersebut karena majikannya yang sangat galak kepadanya, kemudian
rodiyah pun berpikir kembali, hingga saat berada diperjalanan pulang, ia
melihat seorang pedagang kue keliling yang sedang menjajakan dagangannya,
disapalah tukang kue tersebut olehnya.
“permisi bu, maaf sebelumnya, apakah
kue yang ibu jual merupakan buatan ibu seluruhnya?” Tanya Rodiyah kepada tukang
kue keliling tersebut.
“tentu bukan bu, ini kepunyaan orang
lain, saya hanya membantu menjualnya, dengan keuntungan dibagi dua dari orang
pembuat kue tersebut bu” ucap tukang kue tersebut.
“bisakah ibu menolong saya untuk
mengantar kepada orang penjual kue tersebut bu? “Tanya Rodiyah kembali.
“tentu bisa bu, rumahnya tidak jauh
dari sini, mari saya antar” ujar penjual kue tersebut.
Hingga akhirnya rodiyah pun bertemu
dan meminta agar ia diterima untuk menjajalkan kue buatan orang tersebut, akhirnya rodiyah pun
diterima, dan akhirnya ia bekerja sebagai penjual kue keliling, pekerjaannya
sangat ia nikmati, meskipun keuntungan yang tidak seberapa, namun cukup untuk
makan,minum, dan biaya sewa rumahnya tersebut.
Dengan tekad yang kuat Rodiyah melalang buana di
jalanan, di atas trotoar jalan untuk menawarkan kue kepada para pelanggannya.
Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya
setelah jam tiga sore atau setelah ia merasa tidak kuat lagi untuk berjalan.
Para pelanggannya sangat menyukai rodiyah, karena ia pribadi yang ramah
dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Namun karena kebaikan hatinya itu,
banyak orang yang membayar kue nya dengan lebih. Mungkin karena tidak tega,
melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas
yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran
berusaha berjalan menjajakan kuenya.
Rodiyah pun kembali kerumah dan beristirahat
ditempat yang ia anggap istana baginya yaitu disebuah rumah reot dekat tempat
pembuangan sampah, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan para penjual
asongan dan pemulung lainnya. Perlengkapan di rumah nya sangat sederhana. Hanya
ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia
biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari menjual kue.
Rumah kontrakan itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana
Rodiyah biasa
merebahkan tubuhnya beristirahat, di ruang itu juga ia memasak untuk mengisi
perutnya yang lapar, di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi
beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah
bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat
sampah, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah
lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi
kegelapan di rumah reot itu bila malam telah menjelang.
Rodiyah hanya tinggal sendiri Dan orang hanya tahu bahwa ia
seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah.
Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sepi, banyak orang yang suka padanya,
karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan
menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan suka cita
tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian
menjajalkan dagangannya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan
minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk
menggantikan baju tuanya. Namun dia tidak melakukannya, karena sebagian uang
hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa
mengurusi dan menyantuni sekitar 100 anak-anak yatim piatu miskin di pinggiran
kali ciliwung. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah
yang didirikan secara swadaya.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru
beristirahat setelah menjual kue-kue nya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki
kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat
barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan
mengendong beban berat di pundaknya, namun terus dengan semangat melakukan
tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar di mukanya, ia
menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan
wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur
pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong
ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak
itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan
sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti
itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.
Hati Rodiyah tercekat
dan teringat akan anaknya dahulu saat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu,
dan berbagi kue dagangannya tersebut dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa
anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya
cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan
sederhana. Rodiyah pun langsung menghampiri anak tersebut, dan menanyakan untuk
apa saja uang yang sudah ia kumpulkan.
“kenapa kamu masih mengais makanan dari sisa tempat sampah
nak? Kan kamu sudah punya uang yang cukup untuk membeli makanan dan minuman
yang layak?” Tanya Rodiyah.
“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….,” jawab
anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Rodiyah kembali.
“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak
sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk
saya dan dua adik saya yang masih kecil…,” sahut anak itu.
Rodiyah minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak
lelaki tersebut. Hati Rodiyah semakin merintih melihat kedua adik anak itu, dua
anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak
menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Rodiyah tidak menyalahkan kalau
tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan
ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit
dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain,
mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Rodiyah kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang
biasa menampung anak yatim piatu kurang mampu di pinggiran kali ciliwung. Pada
pengurus yayasan itu Rodiyah mengatakan
bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu
anak-anak yatim-piatu itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang
layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang lebih baik.
Sejak saat itulah Rodiyah menghabiskan waktunya dengan berjualan kue mulai jam
6 pagi sampai jam 3 sore dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan
seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa rumah dan membeli sebungkus
nasi untuk makan siangnya dan sebagian lagi untuk makan malamnya, seluruhnya ia
sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang
kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu,
ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa
bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk
dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang
tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmm… tapi masih cukup bagus… gumam
rodiyah dengan senang.
Rodiyah menjajalkan dagangan kuenya
selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, di
hujan turun yang mendinginkan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat
menyengat membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah
anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan
saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa
ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya
sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun,
sehingga hampir 15 tahun Rodiyah menjajalkan
dagangan kue miliknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada
yayasan yatim piatu di pinggiran kali ciliwung itu. Saat berusia 60 tahun, dia
mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar sekitar 450 ribu rupiah yang
disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah
rakyat yang ada di pinggiran kali ciliwung.
Rodiyah berkata “Saya sudah tidak
dapat berjalan jauh lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang
terakhir yang dapat saya sumbangkan….,” katanya dengan sendu.
Rodiyah wafat pada usia 60
tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan
disepanjang hidupnya uang sebesar 9 juta yang dia berikan kepada Yayasan yatim
piatu dan sekolah-sekolah di pinggiran ciliwung untuk menolong kurang lebih 100
anak-anak miskin dan yatim-piatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar