“
Aku, Ayah, Ibu, dan Ramadhan ”
Sebuah
rumah sederhana di sebidang tanah yang berukuran cukup luas untuk bocah
bermain-main sesuka hatinya. Hembusan angin membuat rambut ikalku berantakan
seperti terkena kibasan yang dahsyat. Angin kali ini sangatlah berbeda, membawa
hawa panas karena hujan tak kunjung turun dalam beberapa bulan terakhir. Hawa
panas membuat bulir keringat jatuh dan tertahan oleh rambut-rambut halus milik
kulit yang menjadi lapisan pelindung dibawahnya. Sungguh indah penciptaan
manusia yang begitu sempurna dibuat oleh-Nya.
Perkenalkan
namaku “Hamas” aku bocah 14 tahun yang tinggal dalam daerah konflik di
perbatasan Jalur Gaza, Negara Palestina. Ayahku yang memberikanku nama ini, katanya
agar aku kelak menjadi pasukan Hamas yang terlatih, tentu kalian tau dengan
pasukan Hamas, bukan? Hamas merupakan organisasi sayap kanan pemerintahan
Palestina, Hamas merupakan garda terdepan dalam melindungi kami rakyat palestina
dari serangan zionis yang telah menjajah tanah kelahiran kami. Senjata, roket,
dan kendaraan Baraccuda sudah menjadi sahabat kami, ledakan bom yang menghantam
pun sudah kami anggap lantunan musik kami, ketenangan dan kedamaian merupakan
barang langka bahkan hampir punah disini, tapi semua berubah saat Bulan penuh
rahmat, bulan Ramadhan menjelang. Pemerintahan kami dan pemerintahan zionis
menyepakati gencatan senjata saat Ramadhan menjelang, di saat ini lah kami pun
merayakan dengan suka cita penuh syukur.
Wangi
semerbak bulan indah sudah menyapa, Ramadan sudah ada dipusaran muka. Aku
bersyukur karena aku masih bisa bertemu dengan Ramadhan tahun ini. Menjadikan
aku sebagai seorang bocah muslim yang sedang berusaha mencari jati diri.
Sekarang aku sedang memilih untuk hidup di atas kekuranganku, memilih untuk
menjalankan skenario kehidupan didunia fana ini.
Aku
tertegun di bawah pepohonan rindang. Angin menghembuskan nafasnya membuat
pakaian ku berkibar seperti bendera di puncak tiangnya. Aku melipat kaki,
menyikukan tangan kanan, meletakan dagu diatas nya, dan tangan kiri menemani
lutut yang kurus. Aku tak mampu lagi berjalan, ledakkan roket pasukan zionis
yang membuatku seperti ini, tidak hanya itu, nyawa ayahku pun direnggut oleh
serangan dahsyat kala itu, ingin rasa ku mengeluh, tapi aku selalu ingat
perkataan ayahku, “Rencana Allah jauh lebih Indah”.
Hanya
mampu berdiri itu sudah sangat luar biasa rasanya. Melihat bocah seumuranku
bermain lepas ingin rasanya ikut
bermain. Karena masa kecilku ini jauh dari kata menyenangkan, jauh dari kata
kebahagiaan, namun tersemat rasa syukur yang masih ada berjuta nikmat
tersimpan.
Adzan
ashar berkumandang indahnya, masih dalam bisu aku memutar kursi roda yang sudah
4 tahun menemaniku. Tidak pernah mandiri, ya itu satu kalimat sederhana yang
patut dilayangkan kepadaku. Setiap hari ibu membantuku untuk melakukan segala
hal tanpa terkecuali, kini saatnya aku beribadah, berkomunikasi dengan Allah
SWT, sang pencipta yang tentu saja tidak dapat dilihat secara kasat mata, hanya
dapat diresapi melalui firman-firman-Nya yang terdapat dalam kitab suci
Al-Qur’an atau segala ciptaan-Nya di alam semesta ini.
Hutan
yang hijau, barang tambang yang tersimpan dalam perut bumi, udara yang
diperlukan, air yang berlimpah, dan masih banyak rizki yang Allah limpahkan,
tentu tidaklah pantas apabila aku tidak merasa bersyukur atas segala nikmat
yang telah Allah berikan kepadaku dan manusia lainnya.
Aku
masih ingat, 4 tahun lalu sebuah ledakkan roket dijatuhkan tepat dekat kediaman
keluargaku saat aku dan ayahku sedang beristirahat, tubuh ayahku lah yang
melindungiku dari terjangan reruntuhan bangunan, rintihan nafas ayahku tak
henti beriringan dengan kalimat syahadat, itulah suara terakhir dari ayahku
yang ku dengar. Aku jatuh pingsan, aku dibawa kerumah sakit terdekat. Satu
bulan lamanya aku tak sadarkan diri dan ketika terbangun sebuah pelukan hangat
mengisi dan menyusupi jiwa hampa tanpa seorang ayah yang telah tiada.
Bingung,
Hening. Lama sekali pelukan itu melekat, terasa basah pundakku, aku mendorong
ibu pelan melihat lekat wajahnya, aku pun menghapus air mata ibu dan kembali
memeluknya. Saat itu aku hanya ingin ibu merasa tenang dan nyaman didekatku.
Baru kali ini aku melihat ibu menangis seperti itu, selalu ada tangis ibu walau
senyumnya selalu mengelabui luka yang bersemayam mengisi relung hatinya. Jiwa
nya kesepian sejak ayah meninggalkan kami sebulan yang lalu. Namun ibu sadar
bahwa ia masih memiliki aku, terutama Sang Maha Pencipta.
Waktu
berlalu, usiaku berpacu dengan kondisi ku yang melelahkan sejuta impian dan
harapan yang telah kususun menjadi puzzle kehidupan. Aku tetap sama, Ramadhan
kali ini sama seperti tahun sebelumnya, berada diatas kursi roda. Sama seperti
langit masih memerah ketika kemarin senja.
Tinggal
bersama ibu dengan saudara seimanku yang lain disebuah yayasan internasional
yang didirikan oleh para dermawan, lika liku yang aku alami mengajarkanku apa
arti kehilangan dan memiliki. Ayah pernah mengatakan kepadaku, “kita tidak akan
tahu apa arti memiliki sebelum kita merasakan apa arti dari kehilangan”, saat
mengingat itulah aku baru sadar, harus lebih dewasa menjalani hidup ini, harus
lebih dewasa dari pada usiaku sendiri.
Hari
Pertengahan Ramadhan, sesekali aku ingin menyeduh teh hangat untuk ibu,
menyiapkan masakan yang lezat, dan membangunkannya dari tidur ketika semua telah
ku persiapkan. Namun ibu tidak pernah mengizinkanku melakukan itu, setelah
selesai ibu mendorong kursi rodaku ke meja makan untuk sahur bersama
saudara-saudara seimanku yang lain. Ibu tidak lupa untuk mengingatkanku membaca
niat puasa terlebih dahulu.
Selepas
Shubuh aku ingin sekali menulis sesuatu untuk ibu. Namun ada yang lain kali
ini, aku merasa penglihatanku mulai berkurang. Aku acuh, lalu aku kembali
menulis surat itu dengan sepenuh hati, aku menggenggam surat itu ditangan,
memutar kursi roda untuk pergi ke luar rumah yayasan menyaksikan fajar yang
berganti. Shubuh hilang mendapati pagi dan matahari terbit dari peraduan.
Di
seberang jalan, aku melihat sosok seseorang, seperti ayah. Aku mendekati orang
itu dengan memutar kursi roda. Semakin dekat rasanya semakin aku percaya jika
itu adalah ayah, aku terus memacu kursi rodaku. Namun semuanya menghilang
ketika hantaman ledakan yang keras menyapu harapanku mendapat pelukan hangat
ayah di pagi itu. Aku mendengar suara ibu berteriak keras memanggilku berulang-ulang,
mendapatiku dalam pelukannya yang telah bersimbah darah. Ternyata yang ku dapat
pagi itu bukan pelukan ayah, tapi pelukan hangat ibu. Ibu mengambil secarik
kertas yang ku genggam, surat itu berlumuran darah.
Detak
jantungku mulai lelah memacu, mataku, pendengaranku, semuanya membeku dengan
iringan nafas terakhirkku dengan kalimat tauhid.
“Laa
ilaaha illallah…..”
Allah
menyayangiku, tidak memanggilku dengan penderitaan sakaratul maut yang panjang.
Angin yang berhembus mengatakan bahwa ibu telah membaca isi suratku .
Ramadhan
kali ini ternyata berbeda, Ramadhan beberapa tahun lalu ayah meninggalkan aku
dan ibu, Ramadhan tahun ini aku yang meninggalkan ibu sendiri. Tersiar kabar
yang dibawa hembusan angin, bahwa kepergianku ini akibat ledakan roket zionis
yang terjadi dekat tempatku melihat sosok sang ayah. Peledakkan roket kali ini
memicu kemarahan dari saudara seimanku kepada zionis yang telah melanggar
perjanjian gencatan senjata yang dibuat. Gelombang perlawanan pun muncul kepada
pasukan zionis tersebut.
Lalu
semenjak kepergianku, membuat ibuku jatuh sakit, suratku yang berdarah sudah
kering digenggamannya. Ketika adzan Maghrib berkumandang di Ramadhan ke 29 atau
menjelang 1 Syawal, Allah memanggilnya untuk berkumpul bersama aku dan ayah,
merasakan kemenangan hari raya idul fitri bersama disini, di Jannah-Nya.
--SELESAI—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar