Jumat, 10 Juli 2015

My Cerpen...


“ Aku, Ayah, Ibu, dan Ramadhan ”

Sebuah rumah sederhana di sebidang tanah yang berukuran cukup luas untuk bocah bermain-main sesuka hatinya. Hembusan angin membuat rambut ikalku berantakan seperti terkena kibasan yang dahsyat. Angin kali ini sangatlah berbeda, membawa hawa panas karena hujan tak kunjung turun dalam beberapa bulan terakhir. Hawa panas membuat bulir keringat jatuh dan tertahan oleh rambut-rambut halus milik kulit yang menjadi lapisan pelindung dibawahnya. Sungguh indah penciptaan manusia yang begitu sempurna dibuat oleh-Nya.

Perkenalkan namaku “Hamas” aku bocah 14 tahun yang tinggal dalam daerah konflik di perbatasan Jalur Gaza, Negara Palestina. Ayahku yang memberikanku nama ini, katanya agar aku kelak menjadi pasukan Hamas yang terlatih, tentu kalian tau dengan pasukan Hamas, bukan? Hamas merupakan organisasi sayap kanan pemerintahan Palestina, Hamas merupakan garda terdepan dalam melindungi kami rakyat palestina dari serangan zionis yang telah menjajah tanah kelahiran kami. Senjata, roket, dan kendaraan Baraccuda sudah menjadi sahabat kami, ledakan bom yang menghantam pun sudah kami anggap lantunan musik kami, ketenangan dan kedamaian merupakan barang langka bahkan hampir punah disini, tapi semua berubah saat Bulan penuh rahmat, bulan Ramadhan menjelang. Pemerintahan kami dan pemerintahan zionis menyepakati gencatan senjata saat Ramadhan menjelang, di saat ini lah kami pun merayakan dengan suka cita penuh syukur.

Wangi semerbak bulan indah sudah menyapa, Ramadan sudah ada dipusaran muka. Aku bersyukur karena aku masih bisa bertemu dengan Ramadhan tahun ini. Menjadikan aku sebagai seorang bocah muslim yang sedang berusaha mencari jati diri. Sekarang aku sedang memilih untuk hidup di atas kekuranganku, memilih untuk menjalankan skenario kehidupan didunia fana ini.

Aku tertegun di bawah pepohonan rindang. Angin menghembuskan nafasnya membuat pakaian ku berkibar seperti bendera di puncak tiangnya. Aku melipat kaki, menyikukan tangan kanan, meletakan dagu diatas nya, dan tangan kiri menemani lutut yang kurus. Aku tak mampu lagi berjalan, ledakkan roket pasukan zionis yang membuatku seperti ini, tidak hanya itu, nyawa ayahku pun direnggut oleh serangan dahsyat kala itu, ingin rasa ku mengeluh, tapi aku selalu ingat perkataan ayahku, “Rencana Allah jauh lebih Indah”.

Hanya mampu berdiri itu sudah sangat luar biasa rasanya. Melihat bocah seumuranku bermain lepas ingin rasanya  ikut bermain. Karena masa kecilku ini jauh dari kata menyenangkan, jauh dari kata kebahagiaan, namun tersemat rasa syukur yang masih ada berjuta nikmat tersimpan.

Adzan ashar berkumandang indahnya, masih dalam bisu aku memutar kursi roda yang sudah 4 tahun menemaniku. Tidak pernah mandiri, ya itu satu kalimat sederhana yang patut dilayangkan kepadaku. Setiap hari ibu membantuku untuk melakukan segala hal tanpa terkecuali, kini saatnya aku beribadah, berkomunikasi dengan Allah SWT, sang pencipta yang tentu saja tidak dapat dilihat secara kasat mata, hanya dapat diresapi melalui firman-firman-Nya yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an atau segala ciptaan-Nya di alam semesta ini.

Hutan yang hijau, barang tambang yang tersimpan dalam perut bumi, udara yang diperlukan, air yang berlimpah, dan masih banyak rizki yang Allah limpahkan, tentu tidaklah pantas apabila aku tidak merasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepadaku dan manusia lainnya.

Aku masih ingat, 4 tahun lalu sebuah ledakkan roket dijatuhkan tepat dekat kediaman keluargaku saat aku dan ayahku sedang beristirahat, tubuh ayahku lah yang melindungiku dari terjangan reruntuhan bangunan, rintihan nafas ayahku tak henti beriringan dengan kalimat syahadat, itulah suara terakhir dari ayahku yang ku dengar. Aku jatuh pingsan, aku dibawa kerumah sakit terdekat. Satu bulan lamanya aku tak sadarkan diri dan ketika terbangun sebuah pelukan hangat mengisi dan menyusupi jiwa hampa tanpa seorang ayah yang telah tiada.

Bingung, Hening. Lama sekali pelukan itu melekat, terasa basah pundakku, aku mendorong ibu pelan melihat lekat wajahnya, aku pun menghapus air mata ibu dan kembali memeluknya. Saat itu aku hanya ingin ibu merasa tenang dan nyaman didekatku. Baru kali ini aku melihat ibu menangis seperti itu, selalu ada tangis ibu walau senyumnya selalu mengelabui luka yang bersemayam mengisi relung hatinya. Jiwa nya kesepian sejak ayah meninggalkan kami sebulan yang lalu. Namun ibu sadar bahwa ia masih memiliki aku, terutama Sang Maha Pencipta.

Waktu berlalu, usiaku berpacu dengan kondisi ku yang melelahkan sejuta impian dan harapan yang telah kususun menjadi puzzle kehidupan. Aku tetap sama, Ramadhan kali ini sama seperti tahun sebelumnya, berada diatas kursi roda. Sama seperti langit masih memerah ketika kemarin senja.

Tinggal bersama ibu dengan saudara seimanku yang lain disebuah yayasan internasional yang didirikan oleh para dermawan, lika liku yang aku alami mengajarkanku apa arti kehilangan dan memiliki. Ayah pernah mengatakan kepadaku, “kita tidak akan tahu apa arti memiliki sebelum kita merasakan apa arti dari kehilangan”, saat mengingat itulah aku baru sadar, harus lebih dewasa menjalani hidup ini, harus lebih dewasa dari pada usiaku sendiri.

Hari Pertengahan Ramadhan, sesekali aku ingin menyeduh teh hangat untuk ibu, menyiapkan masakan yang lezat, dan membangunkannya dari tidur ketika semua telah ku persiapkan. Namun ibu tidak pernah mengizinkanku melakukan itu, setelah selesai ibu mendorong kursi rodaku ke meja makan untuk sahur bersama saudara-saudara seimanku yang lain. Ibu tidak lupa untuk mengingatkanku membaca niat puasa terlebih dahulu.

Selepas Shubuh aku ingin sekali menulis sesuatu untuk ibu. Namun ada yang lain kali ini, aku merasa penglihatanku mulai berkurang. Aku acuh, lalu aku kembali menulis surat itu dengan sepenuh hati, aku menggenggam surat itu ditangan, memutar kursi roda untuk pergi ke luar rumah yayasan menyaksikan fajar yang berganti. Shubuh hilang mendapati pagi dan matahari terbit dari peraduan.

Di seberang jalan, aku melihat sosok seseorang, seperti ayah. Aku mendekati orang itu dengan memutar kursi roda. Semakin dekat rasanya semakin aku percaya jika itu adalah ayah, aku terus memacu kursi rodaku. Namun semuanya menghilang ketika hantaman ledakan yang keras menyapu harapanku mendapat pelukan hangat ayah di pagi itu. Aku mendengar suara ibu berteriak keras memanggilku berulang-ulang, mendapatiku dalam pelukannya yang telah bersimbah darah. Ternyata yang ku dapat pagi itu bukan pelukan ayah, tapi pelukan hangat ibu. Ibu mengambil secarik kertas yang ku genggam, surat itu berlumuran darah.

Detak jantungku mulai lelah memacu, mataku, pendengaranku, semuanya membeku dengan iringan nafas terakhirkku dengan kalimat tauhid.

“Laa ilaaha illallah…..”

Allah menyayangiku, tidak memanggilku dengan penderitaan sakaratul maut yang panjang. Angin yang berhembus mengatakan bahwa ibu telah membaca isi suratku .

 

Ramadhan kali ini ternyata berbeda, Ramadhan beberapa tahun lalu ayah meninggalkan aku dan ibu, Ramadhan tahun ini aku yang meninggalkan ibu sendiri. Tersiar kabar yang dibawa hembusan angin, bahwa kepergianku ini akibat ledakan roket zionis yang terjadi dekat tempatku melihat sosok sang ayah. Peledakkan roket kali ini memicu kemarahan dari saudara seimanku kepada zionis yang telah melanggar perjanjian gencatan senjata yang dibuat. Gelombang perlawanan pun muncul kepada pasukan zionis tersebut.

Lalu semenjak kepergianku, membuat ibuku jatuh sakit, suratku yang berdarah sudah kering digenggamannya. Ketika adzan Maghrib berkumandang di Ramadhan ke 29 atau menjelang 1 Syawal, Allah memanggilnya untuk berkumpul bersama aku dan ayah, merasakan kemenangan hari raya idul fitri bersama disini, di Jannah-Nya.

 

--SELESAI—


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar